FAKTA HUKUM, Selasa (28 Maret 2023). JAKARTA - Ketentuan mengenai praperadilan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). M. Yasir Djamaludin yang berprofesi sebagai advokat menjadi Pemohon Perkara Nomor 27/PUU-XXI/2023 yang menguji Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Selasa (28/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Imelda selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dinilai melanggar hak konstitusional Pemohon. Pemohon telah melakukan profesinya secara profesional dengan banyak memberikan bantuan hukum. Salah satunya terhadap perkara yang sedang berjalan saat ini, yakni Permohonan Praperadilan yang teregister dengan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Jap tanggal 24 Februari 2023 di Pengadilan Negeri Jayapura. Permohonan praperadilan tersebut telah dianggap gugur karena perkara tersebut telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jayapura dan telah teregister dengan Perkara Pidana Nomor: 2/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jap tertanggal 01 Maret 2023 dan Perkara Pidana Nomor: 3/Pid.SusTPK/2023/PN.Jap tertanggal 01 Maret 2023.
“Namun faktanya pemohon mengalami kerugian yang secara konstitusional karena permohonan praperadilan tersebut tidak diproses oleh Pengadilan Negeri Jayapura, tidak dilakukan pemeriksaan dan tidak ada putusan dari praperadilan tersebut. Kemudian justru praperadilan tersebut telah dianggap gugur akibat berkas telah dilimpahkan atau perkara tersebut sudah dimulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri Jayapura,” jelas Imelda di hadapan Panel Hakim Manahan MP Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih.
Menurut Pemohon, pemberlakuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya mengingat tidak adanya penegasan mengenai tafsir frasa “maka permintaan tersebut gugur”. Sehingga apabila terdapat permohonan praperadilan, namun tidak dilakukan proses pemeriksaan terhadap permohonan praperadilan tersebut dan berkas sudah dilimpahkan serta perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, maka permintaan praperadilan dianggap gugur.
“Hal ini yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena permintaan atau proses praperadilan harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum ataupun sesudah berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diperiksa, guna tercapainya kepastian hukum. Kemudian pengadilan negeri harus menangguhkan dan menunda pemeriksaan terhadap pokok perkara tersebut agar permintaan ataupun proses praperadilan yang sedang berjalan dapat diputus terlebih dahulu,” tegas Imelda.
Selanjutnya, Reza Setiawan selaku kuasa hukum lainnya menyebut, terkait gugurnya permintaan ataupun proses praperadilan yang dialami oleh Pemohon sebagaimana telah diajukan Permohonan Praperadilan yang terregister dengan Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN.Jap tertangggal 24 Februari 2023 di Pengadilan Negeri Jayapura. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional ataupun hak asasi manusia dari Pemohon selaku Advokat dan Kuasa Hukum dari terdakwa/pemohon praperadilan, sehingga apabila suatu permohonan praperadilan digugurkan atau dianggap gugur akibat tidak dilakukannya pemeriksaan praperadilan dan berkas telah dilimpahkan untuk diperiksa oleh pengadilan, maka secara langsung pasal yang diujikan tidak memberikan perlindungan ataupun pemenuhan hak asasi manusia terhadap Pemohon sebagaimana tercantum pada Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
“Sehingga, berdasarkan uraian-uraian di atas, Pemohon memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf D frasa “maka permintaan tersebut gugur” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan tetap dilanjutkan sampai adanya putusan dengan menangguhkan pemeriksaan pokok perkara’,” ujar Putra Rezeki Simatupang saat membacakan petitum Pemohon.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk mempelajari Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) 2/2021 tentang Pengujian Undang-Undang. “Tolong nanti dipelajari sekali lagi PMK 2/2021 tadi masih menyebutkan PMK yang lama. Tolong dipelajari disitu sistematikanya sebetulnya terkait dengan permohonan ini kan sebetulnya sederhana sekali, ya. Cukup Anda mencantumkan sistematikanya adalah mulai dari perihal kemudian di dalamnya menyangkut kewenangan MK, kedudukan hukum, posita atau alasan permohonan dan petitum, kan seperti itu. Jadi yang lainnya nanti anda sesuaikan harus masuk kebagian mana hal yang saya sebutkan tadi,” terang Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan MK tidak dapat memeriksa dan mengadili kasus konkret. Untuk itu, Pemohon diminta untuk mengolaborasi alasan-alasan permohonan agar MK dapat mengubah putusan sebelumnya.
“Jadi, kami bukan tempat menguji kasus konkret di sini tempat untuk menilai norma dalam hal ini norma tersebut yang ada di Pasal 82 ayat (1) KUHAP. Dan itu sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau kami harus menilai, Anda harus memberikan kepada kami alasan-alasan yang kuat apakah yang memungkinkan kami untuk berubah dari pendirian sebelumnya. Nah itu tidak kelihatan di permohonan. Makanya saran saya tadi baca dulu putusan yang empat sebelumnya itu kalau anda merasa sudah tertampung dan yang terjadi pada yang anda jadikan kasus konkrit itu adalah soal penerapan norma mungkin anda punya sikap yang berbeda terhadap permohonan ini,” tegas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan selambatnya diterima pada Senin, 10 April 2023 pukul 13.00 WIB. (*)