Marthen Luther Djari : "Menuju Papua Sejahtera, Papua Anak Kandung Indonesia"

 

Menuju Papua Damai Sejahtera atau Papua Anak Kandung Sejati Indonesia. Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia yang paripurna, (Quo Vadis Papua – Freddy Numberi). Oleh : Marthen Luther Djari


FAKTA HUKUMRabu (06 Maret 2024). JAKARTA - Perjalanan panjang Papua menjadi bagian dari NKRI menorehkan catatan tersendiri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Para antropolog waktu itu menyebut Papua dengan nama The Land that time forgot (pulau yang terlupakan), namun seiring perkembangan waktu, Papua mulai dikenal, diminati, diduduki, menjadikan Papua sebagai golden boy. 

Kedaulatan Indonesia atas tanah Papua, berakar pada sejarah semenjak jaman Majapahit pada abad ke 13, dimana bukti  ikatan tali hubungan budaya dan politis sudah ada.

Papua sejak tercatat dalam sejarah telah digoresi multi persoalan hingga saat ini. Multi persoalan yang berkepanjangan ini harus diselesaikam dengan cara yang tidak biasa. 

Hal ini dilakukan untuk memastikan kehadiran Negara dalam mewujudkan kondisi yang kondusif sebagai prasyarat kemajuan pembangunan kesejahteraan di seluruh wilayah Papua. Karena kondisi saat ini sungguh ironis, pada satu sisi pemerintah terus memasifkan pembangunan, namun disisi lain masih ada pihak pengganggu keamanan yang melakukan kekerasan.


Perkembangan lingkungan

Perkembangan lingkungan global dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan internasionalisasi konflik di Papua sulit dicegah. Kondisi ini mendorong tumbuhnya empati dan solidaritas internasional mendukung gerakan politik sebagian kecil orang Papua ingin memperjuangkan kemerdekaan. 

Pengaruh lingkungan regional juga menjadi perhatian Pemerintah RI, khususnya menangkal isu kelompok tertentu yang ingin memisahkan diri dari NKRI, yang tujuan akhirnya ingin Merdeka.

Sedang perkembangan lingkungan nasional, kompleksitas dan dinamika perkembangan lingkungannya ditandai dengan permasalahan dan tantangan yang multidimensional.

Masalah geografis merupakan akar masalah yang menonjol. dimana wilayah terpencil dan pedalaman yang sulit dijangkau, ketersediaan SDM melaksanakan pelayanan publik dasar, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan yang belum memadai. Masalah demografi, jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah, sehingga penyebarannya tidak merata baik dari aspek jumlah maupun kualitasnya. Masalah SDA, sumber kekayaan alam yang melimpah belum dieksploitasi secara optimal, dinikmati pihak lain, dan pengelolaannya masih tergantung pada tenaga ahli dari luar negeri. 

Masalah Ideologi, keterbatasan pemahaman nilai Pancasila yang tingal di pedalaman, pegunungan dan kawasan terisolir karena belum terjangkau media sosial dan media elektronik, maka menjadi kendala. Masalah politik, terkendala adanya sikap elit politik yang cenderung berpikir pragmatis mengesampingkan kepentingan bangsa dan Negara. 

Sementara pasca reformasi menuntut kebebasan di segala bidang dan ekspresi keragaman yang terus mengemuka. Elemen civil society belum berjalan. Masalah ekonomi, pertumbuhan ekonomi belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. 

Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan sangat rentan dimanfaatkan kelompok tertentu mengkritik kebijakan pemerintah. Masalah sosial budaya, Papua dikenal multi etnis, hal ini dapat menjadi tantangan sosial pemicu konflik bernuansa SARA, bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. 

Belum lagi isu etno nasionalisme, yaitu pandangan yang menekankan bahwa orang Papua berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya, berbeda warna kulit, bentuk rambut, pakaian, dan adat istiadat.  Masalah pertahanan keamanan, luas wilayah dan  banyaknya kekayaan alam di wilayah Papua menimbulkan potensi eskalasi konflik sosial menjadi tinggi, sehingga berpotensi terjadinya  ancaman disintegrasi bangsa dan menguatnya aksi separatisme


Akar masalah dan sumber konflik.

Perspektif sejarah tercatat bahwa pertentangan terbuka antara orang Papua dan non Papua sudah berlangsung sejak masa imperialisme barat, ketika pertama kali Belanda menginjakkan kaki di tanah Papua 1828.  Menurut Paskalis Kosay, konflik orang Papua dengan Belanda terjadi karena ketersinggungan perasaan orang Papua yang dilecehkan hak-haknya sebaagai bangsa pribumi dalam menentukan nasibnya, (Kosay Paskalis, Jakarta 2011).

Setelah 17 Agustus 1945, status politik tanah Papua tetap menjadi perdebatan. Persoalan semakin mengemuka ketika Papua (Irian Barat) dibawah administrasi pemerintah Indonesia waktu penyerahan dari Untea 1 Mei 1963 sampai pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera diputuskan oleh Dewan  Musyawarah Pepera bahwa Irian Barat  menjadi bagian RI. 

Kendati proses kembalinya Irian Barat ke Indonesia dianggap sah secara internasinal namun dipersoalkan beberapa orang yang kemudian diorganisir sebagai Organisai Papua Merdeka (OPM). Dampak politiknya mempengaruhi stabilitas dalam negeri dan berimplikasi luas pada dunia internasional.

Sejak 1965 terus menjadi “duri dalam daging” bagi Indonesia termasuk di dalamnya Papua.  Dalam penelusuran ditemukan bahwa akar masalah dari rentetan konflik Papua  disebabkan adanya perbedaan ideologi dan pemerintah belum mampu menyelesaikannya.  

Adapun isu utama sebagai sumber konflik, menurut Sekretaris Keadilan dan Perdamaian (SKP), Pertama, Peralihan kekuasaan atas Papua dari Pemerintah Belanda tidak sah dan Papua sudah merdeka, saat pemerintah Belanda member simbol nasional berupa bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat. 

Kedua, Pelanggaran besar yang terus menerus terjadi terhadap hak asasi manusia. Tidak satupun kasus pelanggaran yang dibawa ke pengadilan HAM. 

Ketiga, masalah kesejahteraan. Papua telah memberikan porsi besar pada perekonomian Indonesia melalui PT Freeport sebagai penanmbang emas, namun Papua menempati  peringkat kedua termiskin di Indonesia. 

Dapat disimpulkan bahwa asal-usul konflik merupakan masalah yang kompleks yang dihasilkan dari triangulasi masalah sejarah dan politik, hak asasi manusia, dan kesejahteraan.

Searah dengan pandangan tersebut, hasil penelitian LIPI dalam bukunya Papua Road Map, Negotiating The Past, Inproving The Present and Securing The Future (2010), diperkuat dengan penelitian lanjutan 2009-2017, memetakan empat akar masalah Papua, yaitu Pertama, marjinalisasi dan efek diskriminatif dari pembangunan sosial ekonomi bagi penduduk asli Papua; Kedua, kegagalan pembangunan di Papua; Ketiga,  masalah sejarah dan status politik  Papua; Keempat, kekerasan Negara dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.


Respon Pemerintah.

Pemerintah Indonesia dengan bantuan PBB menerima kewajiban menyelenggarakan Act of Free Self-Determination (Tindakan bebas untuk menentukan nasib sendiri) sebelum akhir 1969, atas dasar Persetujuan New York pada 15 Agustus 1962. Prosedur dan penentuan nasib sendiri oleh penduduk Irian merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia. Act of free choise dilakukan secara musyawarah untuk mufakat sesuai sila 4 Pancasila, dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dewan Musyawarah Masyarakat (Dewan Musyawarah Pepera) Irian selama beberapa bulan pada tahun 1969 dan diawasi secara efektif oleh anggota PBB. Hasilnya berdasarkan laporan Sekjen PBB majelis umum pada Nopember 1969 menetapkan Resolusi 2504 (XXIV) mengakui Irian sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Pemerintah telah merespon dengan pemekaran Irian Jaya menjadi dua provinsi 1999, diikuti dengan pemberian otonomi khusus melalui UU RI Noor 21 tahun 2001. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan antar wilayah Papua dengan provinsi lainnya di Indonesia dan memberin peluang bagi warga asli Papua menjadi subyek sekaligus obyek pembangunan di wilayahnya. Disamping itu penerintah membentuk Unit Percepatan Pembanguanan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B).


Solusi.

Berbagai pendekatan telah dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan di Papua. Mulai dari  Presiden BJ Habibi dengan pendekatan dialog, mendialogkan berbagai masalah HAM dan pembangunan di Papua. Namun menemukan jalan buntu karena BJ Habibi menolak tuntutan pengakuan kemerdekaan Papua. 

Berlanjut ke Presiden Abdurrahman Wahid membuka pintu baru bagi penyelesaian  dugaan pelanggaran HAM dan pembangunan, dengan melakukann kunjungan di Papua.

Dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya pelanggaran HAM pada era sebelumnya. 

Pada kesempatan itu terjadi perubahan nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. Namun permasalahan masih terus berkecamuk. Sementara Presiden Megawati berusaha memperkecil ketegangan di Papua, namun ada juga kekerasan yang terjadi atas pimpinan Presidium Dewan Papua. 

Semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan akan menyelesaikan masalah Papua secara mendasar, komprehensif, dan bermartabat. Namun sampai akhir masa kepemimpinannya rencana pembentukan perangkat agenda keadilan (Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) belum terlaksana. 

Pada masa Presiden Joko Widodo secara nyata telah membangun infrastruktur di Papua, dengan anggaran yang sangat besar. Dibidang  agama, pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Namun di akhir kepemimpinannya terjadi juga kerusuhan dan masif di Papua. Satu langkah maju di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dimana saat berdialog dengan para tokoh Papua baru kali ini tidak terdengar tuntutan diadakannya referendum atau merdeka dan semua permintaan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.

Kata bijak ini ada benarnya We have learned from history, that we have not  learned from history - ”Kita telah belajar dari sejarah, bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah”.  Berangkat dari perjalanan sejarah di atas maka maka model penyelesaian masalah Papua yang ditawarkan adalah melalui pendekatan smart power. Smart power ini menekankan pada karakteristik wilayah dan budaya Papua tersendiri.

Yaitu kombinasi antara : Pertama, hard power (kekuatan keras) dengan menggunakan pendekatan senjata, dalam upaya menghadapi kelompok kriminal bersenjata untuk  penegakan hukum, karena di Papua masih ada kombatan. Hard power ini digunakan untuk menangani konflik yang berhubungan dengan tugas menyangkut keutuhan wilayah NKRI.  Kedua, soft power (kekuatan lunak) dengan pendekatan intelijen dan territorial.

Tujuannya membantu percepatan pembangunan di Wilayah Papua, seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, Puskesmas, hingga fasilitas umum.  Pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama, bersinergi antara TNI dengan semua kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan terkait. 

Kekuatan militer yang soft power ini digunakan untuk menangani kasus-kasus yang menyangkut kepentingan nasional. Ketiga,  diplomasi. Diplomasi militer dilakukan untuk membangun hubungan interpersonal antar prajurit serta menciptakan persamaan pandangan tentang pendekatan dalam penyelesaian masalah papua. Pelaksanaannya berkolaborasi dengan Polri dan semua kementrian terkait.  Tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat Papua. 

Di samping itu  moderasi, negosiasi, dan kompromi antara pemerintah pusat dengan kelompok berseberangan merupakan salah satu kunci menyelesaikan konflik di Papua secara berkeadilan. Tipisnya rasa saling percaya/trust building antara masyarakat Papua dengan Pemerintah menjadi  masalah mendasar terjadinya ketegangan.   Maka perlu menumbuhkan sikap saling percaya dalam konfigurasi antar kedua pihak. 


Pembentukkan Badan Nasional.

Pada pemerintahan lalu, pernah dibentuk suatu unit percepatan pembangunan di Papua, disebut Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Pertimbangan pembentukkan unit tersebut bahwa percekatan pembangunhan di Papua dapat terwujud bila dilakukan melalui koordinasi yang kuat (strong coordination) didukung oleh seluruh stakeholder, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pemanggku kepentingan lainnya. 

Menurut penulis salah satu persoalan dalam percepatan pembangunan dan penyelesaian masalah di Papua adalah belum tergelarnya badan khusus yang mengkoordinasikan berbagai fungsi dan peran yang ada, maka perlu dipertimbangkan untuk dibentuk suatu badan nasional di Papua. 

Karena selama ini masing-masing lembaga bekerja tanpa koordinasi yang kuat, sementara masalah Papua sudah demikian kompleks. 

Gambaran badan nasional tersebut sebagai berikut: Badan nasional tersebut diberi nama Badan Nasional Percepatan Pembangunan dan Penyelesaian Papua disingkat BNP4.  BNP4 adalah Badan pelaksana pusat berkedudukan langsung di bawah Presiden, dengan tugas pokok membantu Presiden  dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi papua Barat.  Diharapkan berkantor di wilayah Papua. 

Dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi, menjabarkan rencana aksi percepatan pembangunan menjadi rencana kerja tahunan, yang dijadikan acuan dalam penyusunan rencana kerja pemerintah daerah, dan rencana kerja satuan kerja perangkat daerah; melaksanakan koordinasi dengan stakeholder terkait.


Rekomendasi. 

Untuk mengkoordinasikan, mensinkronkan, dan mempercepat penyelesaian konflik dan berbagai masalah di Papua, disarankan pembentukkan Badan Nasional Percepatan Pembangunan dan Penyelesaian Permasalahan Papua (BNP4) bersifat ad hoc selama lima tahun. Adapun kegiatannya antara lain mengadakan komunikasi politik melalui dialog antara Pemerintah Pusat/Daerah dengan masyarakat Papua. Melakukan gelar penyelesaian hukum dan politik, melalui rekonsiliatif, dimana  kedua pihak, pemerintah pusat dan masyarakat Papua sama sama melakukan investigasi secara menyeluruh tentang kekerasan masa silam, kemudian menggunakan hasil investigasi tersebut untuk melakukan koreksi menyeluruh terhadap struktur dan kultur politik yang dijalankan di Papua.



Penulis : Marthen Luther Djari, Pembina Media Fakta Hukum.com

Ads

نموذج الاتصال